Pergi yang Terbebani, Untuk Pulang yang Diridhoi (Catatan 7 November 2019)

 gambar kartun muslimah, gambar kartun berhijab, gambar kartun imut


Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

Tentang do'a, siapa yang tidak mengenalinya. Siapa pula yang bisa mengendalikannya. Dua tahun lalu, ada seorang anak remaja berusia 18 tahun yang sedang mencari apa itu karir, apa itu kerja dan apa itu definisi mapan.

Namanya Tia, Saya kenal dia sekitar 2 tahun lalu. Saya katakan sekali lagi, do'a itu tidak ada batasnya. Mencoba membendung tidak akan pernah tersurutkan. Itulah hal besar dalam kehidupan manusia. Tia sejak awal kedatangnnya ke Ibu Kota, memang memiliki tujuan yang sama, seperti orang-orang pada umumnya. Iyah, mencari rezeki, peraduan nasib dan kegigihan.



Namun, sekolah yang membesarkan jati dirinya, dengan sumpah mempertahankan apa yang dipegangnya, sesaat luntur karena sudah terlanjur.

Karena, pekerjaan bukan suatu hal yang bisa dibilang gampang, Tia menjadi hilang akal dan membenarkan apa-apa yang dia sangkal seorang diri.

Keputusannya untuk menerima pekerjaan yang mengharuskannya menanggalkan hijabnya selama ini harus dipertaruhkan. Memang benar, Tia bukan pemakai hijab yang konsisten, bahkan ia hanya memakai waktu sekolah saja.

Setelahnya, kadang buka tutup tapi tidak lepas dari aturan yang sopan. Tia tau batasan, namun saat itu, ia lengah pada aturan Tuhan.

 




Keputus-asaan yang cukup mengkhawatirkan, menyebabkan dirinya berani berkata, "Baiklah tidak apa-apa aku menanggalkannya, sebab ini halal bukan mencuri, bukan pula berjudi". Segala maklumat, hal-hal buruk yang tajam jadi tameng kekuatan untuk meluruskan tindakannya. Lebih tepatnya alibi yang kebablsan mencari benar menurut akal bukan menurut ajaran yang benar.

 

Ia akhirnya melepas hijab hidupnya dan yang dikorbankan adalah perasaan tanpa sadar selama koridor pekerjaan mendekapnya pelan-pelan. Hanya sebatas ruang itu, setelahnya ia pakai pulang dan pergi kemana saja.

·         Pertama, apa yang dirasakan Tia?

·         Ia merasakan beban kesalahan dan kerisihan semakin berat dan menjadi tidak tenang.

·         Tapi, semakin kesini semakin biasa saja. Bahkan, mengarah ke perasaan nyaman.  (Astaghfirullah, Naudzubillah)

 


Hingga akhirnya, suatu ketika aku bertemu dengannya. Dia bercerita banyak hal, dan perasaan beban takut yang mulai di alaminya belakangan ini, dicurahkan serintih-rintihnya pada sandaran redupnya iman seorang manusia. Setahun setelah bekerja, Tia sering merasa tidak tenang. Bahkan, pada sebait kalimat baik, kata yang mengingatkan hukuman anak perempuan terhadap orang tuanya menjadi kesedihan paling mendalam. Orang tuanya maklum, karena Tia meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.

 

Beberapa hal menjadi hambatan bagi Tia, tentang pahala shalatnya, tentang ia tahu ini dosa dan salah tapi terus menyanggah. Akhirnya, diseputaran ketidaktenangan itu, Tia mengambil kehadiran pada event-event pengajian. Awalnya, ia tertutup. Tapi, setelah kita saling menguatkan mulailah ia terbuka dan sesekali bersandar pada sisi kepala sebagai penyesalan.


Semakin kesini, tema-tema kajian seakan menjerumus ke masalah dirinya


“Tuhan seakan mengingatkan. Tapi, apa aku dibutakan atau aku yang tulinya keterlaluan.” Tuturnya kepadaku.

Kadang ia sangat malu dan mengolok-olok dirinya. Sampai, tiba dimana Tia mendengar seorang kakek tua di masjid daerah Jakarta berkata padanya. 

"Janganlah, kalian berputus asa dari rahmat Allah, tidak ada keputus-asaan selain dari orang-orang kafir ." (QS Yusuf :87).

Kakek tua itu seperti menasehati dirinya yang sedang tidak karuan. Finalnya, saat ia menghadiri kajian Ust. Adi Hidayat. Dari sana, air matanya sangat deras berjatuhan. Beribu ampun dipastikan sangat terdengar kala itu, tepat saat aku disampingnya. Tangis sesegukan tak bisa disembunyikan dari mukena putih yang masih terpakai di sekujur badannya. Dia berdiam di masjid sampai malam, ia masih menenangkan dirinya. Sebuah pukulan hebat rohani yang tidak bisa dikalahkna dengan egoisnya ketamakan dunia ini.



Hingga, ia berdoa dengan pelan, 

"Allah adalah pemilik alam, kenapa aku takut kehilangan apa yang aku miliki. Padahal, sumber rezeki adalah Allah, lantas kenapa aku selalu menguatkan perbuatan yang jelas-jelas salah.”

Kalimat itu yang selalu jadi motivasi Tia untuk kembali ke hatinya yang lebih tenang.

Malam itu, tahun baru Islam, Tia menangis hampir tidak sadar. Berdoa setiap panggilan malam, karena hatinya sungguh kosong tanpa arti juang. Kemudian, pagi harinya ia bulatkan tekad.

"Ibu maaf, saya mau resign. Alasannya saya mau mencari keberkahan. Ibu tau, saya sudah tiga kali meminta untuk di izinkan berjilbab selama bekerja. Tapi, kata Ibu ini sudah kebijakan atasan. Baik, dari sini saya mengundurkan diri."
Sambil terbata-bata, Tia memberanikan diri berbicara pada atasannya, bahkan sudah direncanakan 6 bulan sebelumnya.

Bukan hal mudah bagi Tia, harus keluar dari pekerjaan dan menanggung uang kuliah, kos dan makan seorang diri. Hampir sebulan, ia menganggur. Tapi, ia harus yakin bahwa janji Tuhannya benar. Ia tidak mau ditertawakan apalagi dibuatnya menyesal atas keputusan yang sudah diambil. Setiap saat doa selalu dipanjatkan, termasuk bertemu dengan orang-orang baik dan bisa mengarahkan ke arah iman yang kuat tertanam.

 


Alhamdulillah, Tia bisa yakin dengan sendirinya. Sampai, bantuan biaya kuliah didapatnya dari yayasan. Sebulan setelah itu, ia mendapat tawaran dari teman yang kebetulan teman satu kajiannya. Dia bekerja di tempat yang seharusnya, mungkin tidak terlalu bonafit, tapi segala hal diatur dengan santun, sesuai porsi niat dan ketulusan. Berjilbab adalah pegangan yang hidup menjadi hidup terhormati, kesemuanya untuk mencapai ridho illahi.

Dan Tia, saat ini masih terus berd'oa agar bahu dan telapak kakinya dikuatkan untuk hal-hal pahit yang tidak semanis dulu.

Ia sekarang berjilbab, ia juga tidak lepas dari mengaji setiap pagi bersama kawan-kawannya disana. Tia harus membuktikan bahwa ia akan jadi orang berpengaruh untuk dirinya, adiknya, kakaknya, saudara-saudaranya atau bahkan dunia. Keputusannya kala itu untuk keluar dari pekerjaan yang memakmurkan gaya hidupnya, adalah jalan yang tepat. Perasaannya yang lebih tenang dan waktu yang jauh lebih bermanfaat adalah cita-cita tertinggi dari usia yang harus digunakan semaksimal mungkin. Karena hidup, tujuannya untuk kembali kepada Tuhan. Kepada Allah SWT.


Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


PS: Aku saat kita bareng @Tia

Posting Komentar

0 Komentar